Tuesday, April 13, 2010

Islam di Negeri Matahari Terbit


Di era tahun ‘50-an ini, banyak orang Jepang yang masuk Islam. Di antaranya seorang pembesar Jepang yang kemudian memiliki pengaruh dalam sejarah perjalanan dakwah di Jepang, Prof. Abdul Karim Sabato. Ia memeluk Islam dengan perantaraan seorang jama’ah tabligh yang bekerja sebagai dosen di Universitas Takushoku. Puluhan pemuda Jepang juga masuk Islam dengan perantaraannya.

Memasuki tahun ‘60-an, banyak mahasiswa asing yang berdatangan ke Jepang. Di antara mereka berasal dari Pakistan, Arab, Turki, dan Indonesia, yang merupakan komunitas terbesar.

Di awal tahun 1961, terbentuklah asosiasi pertama untuk mahasiswa muslim di Jepang. Salah seorang pengurusnya ialah Dr. Zahl, dari Indonesia.

Mereka, para mahasiswa muslim itu, juga membentuk asosiasi kerja sama dakwah bersama asosiasi muslim Jepang yang telah berdiri sebelumnya. Di antara kegiatan yang dilaksanakan Asosiasi Kerja Sama Dakwah tersebut ialah menerbitkan buku-buku saku tentang Islam, membantu penerbitan surat kabar Suara Islam di Jepang, mengirim para pemuda Jepang untuk belajar di Universitas Al-Azhar dengan mengadakan pelatihan sebelum keberangkatannya.

Sementara itu, warga muslim Indonesia mempunyai kantor sekretariat yang sangat besar di jantung kota Tokyo, yang berdekatan dengan Islamic Center Jepang sekarang. Berbagai kegiatan Islam sering diadakan di sana, khususnya pada hari raya ‘Idul Fithri, dengan mengadakan acara halal bihalal yang di dalamnya tersedia berbagai hidangan makanan yang dapat dinikmati oleh siapa saja. Acara tersebut dihadiri warga muslim, para pejabat Jepang, sampai anggota parlemen Negeri Matahri Terbit tersebut.

Peranan Islamic Center

Tahun 1970, Raja Faishal bin Abdul Aziz mengunjungi Jepang dan bertemu perwakilan muslim di sana. Di antara mereka juga ada perwakilan muslim Korea. Pada waktu itu Dr. Abdul Basith As-Siba’i, ketua Asosiasi Mahasiswa Muslim Jepang, memohon kepada Raja Faishal agar staf pengajar Universitas Riyadh membantu penyebaran dakwah Islam di Jepang.

Tahun 1973 Raja Faishal mengabulkan permohonan tersebut, dengan mengutus Dr. Shalih Samarai.
Raja Faishal juga memberikan perhatian yang sangat besar pada proyek penerjemahan Al-Quran untuk warga Jepang yang dipelopori oleh Umar Mita. Melalui Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi di Tokyo ia menggelontorkan sejumlah besar dana dalam membantu proses penerbitannya.

Tibalah kemudian masa pendirian Islamic Center Jepang, yaitu di saat terjadinya krisis minyak pada tahun 1973 dan setelahnya. Sejak saat itu, warga Jepang semakin memberikan perhatian besar terhadap Islam. Salah satu faktornya, dikarenakan sebagian besar negara penghasil minyak adalah negara-negara Islam.

Pendirian Islamic Center ini merupakan realisasi harapan kaum muslimin yang selama ini mempunyai perhatian terhadap Islam semenjak seratus tahun yang lalu. Setiap orang yang membaca tulisan mereka yang telah mengunjungi Jepang dalam melakukan aktivitas dakwah, seperti Abdurrasyid Ibrahim, Barakatullah, Nur Al-Hasan Barlas, berkeinginan sama untuk membangun Islamic Center dalam rangka penyebaran dakwah Islam agar diamalkan masyarakat Jepang, sekaligus agar kaum muslimin Jepang dapat mempelajari dan memahami bahasa Arab serta untuk mencetak buku-buku berbahasa Jepang buat diberikan kepada warga Jepang dalam jumlah yang sangat besar dan juga menerbitkan majalah As-Salam, yang berbahasa Jepang.

Sejak pendiriannya, warga Jepang mulai berdatangan ke Islamic Center dan masuk Islam berbondong-bondong. Aktivitas dakwah meluas dari mulai belahan bumi bagian selatan hingga utara. Untuk pertama kalinya Islam sampai ke Pulau Hokaido di belahan bumi bagian selatan, yang kemudian juga membuka sejumlah cabang Islamic Center di tempat-tempat tersebut.

Aktivitas lainnya, mulailah dikirim para mahasiswa untuk belajar Islam ke Arab Saudi dan Mesir. Di samping itu, pada tahun 1976 dibentuk pula sebuah asosiasi yang mengatur organisasi-organisasi Islam di Jepang yang jumlahnya sekitar dua belas organisasi dan menyatukannya di beberapa kota dan komunitas.
Pada tahun 1977, diadakan seminar pertama tentang syari’at Islam yang diadakan oleh Islamic Center bekerja sama dengan Rabithah ‘Alam Islamy dan Universitas Chuo. Penggagas acara tersebut adalah Ustadz Khalid Kiba. Acara itu dihadiri petinggi kekaisaran saat itu, anggota pengadilan tinggi, tiga ratus pemimpin pengadilan di Jepang, dihadiri pula oleh Muhammad Ali Harakan, ketua umum Rabithah ‘Alam Islamy waktu itu. Acara berlangsung selama tiga hari. Makalahnya disebarkan dengan bahasa Arab, Inggris, dan Jepang. Hasil dari seminar ini adalah studi yang terus berkelanjutan tentang syari’at Islam di Jepang sampai hari ini.

Kemudian diadakan pula seminar ilmiah yang dihadiri ribuan warga Tokyo dan beberapa kota lain dengan membagikan mushaf Jepang yang telah dicetak jutaan eksemplar, hasil kerja sama antara Islamic Center dan Universitas Riyadh.

Maka, semakin besarlah perhatian warga Jepang terhadap Islam. Mereka menyebut agama Islam Kai Kyo, yang kemudian berubah menjadi Isram, disebabkan tak adanya huruf (bunyi) l pada bahasa Jepang, diganti dengan huruf r.

Sepertiga dari Penghasilan

Pada awal tahun ‘80-an, Pangeran Khalid bin Abdul Aziz dari Arab Saudi memberikan sumbangan berupa sebidang tanah untuk pendirian gedung Islamic Center. Dua gubernur yang lain pun memberikan perhatian yang sangat besar dalam usaha ini, mereka adalah Naif bin Abdul Aziz dan Ahmad bin Abdul Aziz. Sehingga Islamic Center menjadi simbol Islam, yang dikunjungi para dosen, mahasiswa, wartawan, stasiun televisi, dan masyarakat umum. Di antara mereka ada yang memeluk Islam dan mempelajari Islam di sana. Hingga kini, Islamic Center masih tetap memainkan peranan dalam pengembangan dan perbaikan umat yang berkelanjutan.

Dapat dikatakan, perkembangan besar yang terjadi dalam sejarah keberadaan Islam di Jepang dimulai pada pertengahan tahun ‘80-an sampai saat ini, yaitu dengan berdatangannya warga muslim dari berbagai penjuru dalam jumlah yang besar setelah awal kedatangan warga muslim bangsa Tartar. Yang paling banyak di antara mereka adalah dari Indonesia, Pakistan, Bangladesh, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Afrika, Turki, dan Arab.

Mereka semua datang ke Jepang untuk bekerja dan belajar, kemudian menikahi para wanita Jepang setelah sebelumnya diajak memeluk Islam dan kemudian mereka mendapat status penduduk tetap. Di antara mereka ada yang telah mendapat status kewarganegaraan Jepang dan status anak-anak mereka adalah warga Jepang.

Mereka kemudian membangun masjid dan mushalla, mendirikan toko-toko yang menjual makanan halal, serta membuka restoran halal. Mereka memakmurkan masjid dengan ibadah ritual shalat. Tempat-tempat perniagaan mereka pun menjadi masjid yang berfungsi sebagai tempat musyawarah dan pembinaan kaum muslimin yang baru dari kalangan warga Jepang.

Warga muslim di wilayah Jepang maupun di luarnya berkomitmen untuk memberikan sumbangan berupa sepertiga dari penghasilannya untuk pembangunan masjid tersebut. Islamic Center ikut membantu pengumpulan dana tersebut. Pemimpin urusan agama pun ikut mengatur pemberian honor pengurus masjid, baik muadzin, imam, mupun penjaga.

Di masa ini, pembangunan cabang Masjid Kobe yang antik dan menjadi pusat informasi Islam di wilayah barat daya Jepang telah selesai. Sementara itu di Nagoya, pembangunan masjid yang indah sebagai ganti dari masjid lama yang hancur oleh bom pada Perang Dunia II pun telah selesai dibangun. Seorang pedagang dari Pakistan, Ustadz Abdul Wahab Quraisy, mempelopori pembangunan masjid ini. Maka warga muslim yang terus bertambah jumlahnya pun sangat antusias untuk membangun masjid dan mushalla.

Umat Islam Indonesia yang ada di sana juga menyediakan tempat dengan kapasitas yang cukup besar untuk melaksanakan shalat berjama’ah di mushalla Kedutaan Besar RI dan juga sekolahnya. Begitu juga pada sejumlah kedutaan besar negara lainnya, seperti dari Iran dan Malaysia.

Perhatian besar yang kemudian menjadi sorotan warga muslim Jepang adalah masalah pemakaman bagi kaum muslimin yang telah wafat, khususnya setelah keberadaan mereka yang terus meningkat dengan banyaknya imigran asing yang menetap. Oleh karena itu kaum muslimin sangat antusias dalam membeli tanah di salah satu provinsi yang berdampingan dengan Tokyo untuk dijadikan tempat pemakaman kaum muslimin secara gratis. Usaha ini dimulai dari mengumpulkan sumbangan dari kaum muslimin hingga datanglah bantuan dari Pelayan Dua Tanah Suci, Raja Fahd bin Abdul Aziz, untuk membeli tanah pemakaman.

Ketua Panitia Pengadaan Pemakaman tersebut adalah Ustadz Miyan Aftab, seorang pedagang Pakistan yang tinggal di daerah Yokohama. Ia bagian dari sekian banyak pedagang muslim di Jepang yang mengerahkan seluruh potensi untuk Islam. Kepanitiaan ini mengajukan pendaftaran tempat pemakaman dengan mengatasnamakan Islamic Center, karena ini satu-satunya instansi keagamaan yang terdaftar secara resmi di pemerintahan Jepang. Dalam perundang-undangan yang ada di sana, di antara hak instansi keagamaan resmi ialah meminta pendirian sebuah kompleks pemakaman. Pihak Islamic Center menyambut baik dan bekerja sama dengan Panitia Pengadaan Pemakaman untuk menyempurnakan kepemilikan tanah pemakaman yang kini telah terwujud.

Seratus Ribu atau Lebih

Masyarakat Jepang tidak menyimpan rasa benci terhadap Islam ataupun kaum muslimin. Belum pernah terjadi ada seorang muslim yang mengalami kesulitan atau masalah, baik ia seorang warga negara pribumi Jepang maupun warga pendatang, karena keislamannya. Terlihat, pemerintah dan rakyat Jepang memberikan kaum muslimin kebebasan total dalam menjalankan syiar agama mereka.
Dirata-ratakan, setiap harinya ada sekitar sepuluh warga Jepang memeluk Islam. Fenomena lainnya, sebanyak 17 juta penduduk Jepang melakukan tur ke luar negeri untuk berwisata setiap tahunnya. Di antara mereka, ada yang memeluk Islam di negeri Islam, bahkan ada juga yang memeluk Islam di Eropa dan Amerika.

Berapakah jumlah kaum muslimin Jepang saat ini? Belum terdapat data statistik yang secara pasti menyebutkan jumlah warga muslim Jepang. Ada yang mengatakan, jumlah warga muslim Jepang mencapai seratus ribu atau lebih, sedangkan warga imigran sebanyak tiga ratus ribu atau lebih. Namun, jumlah ini hanya dugaan, yang dilihat dari data yang berbeda-beda. Yang jelas, warga muslim Jepang senantiasa bertambah.

Di negeri ini, kini terdapat lebih dari seratus asosiasi dan perkumpulan warga muslim. Juga terdapat puluhan masjid dan ratusan mushalla. Keberadaan asosiasi-asosiasi Islam yang banyak di Jepang memberikan kesempatan bagi warga muslim yang baru untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan mempelajari kehidupan Islam darinya.

Mereka juga berusaha mengawasi anak-anak generasi baru kaum muslimin, di antaranya dengan membantu para pemuda Islam mengenal lokasi-lokasi makanan halal dan menjalankan syiar-syiar dan ibadah-ibadah Islam. Kehilangan identitas Islam merupakan problem paling krusial dan potensial yang dihadapi generasi-generasi baru Islam Jepang. Sebagian pengamat menyebutkan, penyebabnya adalah karena tidak adanya satu sekolah Islam pun di Jepang hingga saat ini.

Tak diragukan lagi, keadaan itu akan membuat mereka terpengaruh lingkungan masyarakat yang tidak Islami. Karena itu, Islamic Center, yang merupakan institusi tempat mempelajari Islam pertama yang didirikan di Jepang, telah membeli sebidang tanah yang berlokasi di samping Masjid Tokyo Pusat. Di lahan itulah sekolah Islam direncanakan berdiri.

Sumber: majalah-alkisah.com in madinatulilmi.com

No comments:

Post a Comment

Make your comments brief!